Kamis, 02 Juni 2011

Minggu, 13 Februari 2011

HUBUNGAN INTERNASIONAL

Pendahuluan

Hubungan internasional abad ke-20 ditandai dengan polarisasi dunia menjadi dua kutub raksasa yakni Blok Barat dan Timur. Blok Barat merupakan aktualisasi ajaran liberalisme dan kapitalisme. Setelah Perang Dunia II, Blok Barat dipimpin Amerika Serikat yang menghendaki ajaran komunis yang dibawa Blok Timur tidak menguasai dunia. Kemudian muncullah model bipolar dengan kelahiran konsep balance of power (perimbangan kekuatan).

Penemuan Bom Atom di akhir Perang Dunia II dan penggunaannya oleh Amerika Serikat telah mendorong Blok Timur yang kemudian dipimpin Uni Soviet berusaha mendapatkan teknologi tersebut. Tahun 1945, Amerika Serikat memiliki supremasi dalam bidang senjata strategis. Namun sejak 1949, Uni Soviet telah membuktikan keunggulannya dengan memiliki senjata nuklir seperti halnya Amerika Serikat. Maka lahirlah suasana Perang Dingin dimana persaingan ideologi antara AS dan Soviet menghindari bentrokan langsung karena risiko perang nuklir.

Menurut Juwono Sudarsono, tahun 1989-1990, Perang Dingin berakhir dengan runtuhnya tembok Berlin pada 9 November 1989 serta menyatunya Jerman Barat dan Timur pada 3 Oktober 1990. Perkembangan itu disusul dengan bubarnya Uni Soviet pada 25 Desember 1991 bersamaan dengan mundurnya Mikhail Gorbachev sebagai kepala negara.

Pasca Perang Dingin disebutkan Juwono telah melahirkan sedikitnya empat hal penting dalam hubungan internasional. Pertama, hubungan internasional ditandai dengan ikhtiar memelihara persatuan dan kesatuan bangsa menghadapi lingkungan internasional yang lebih kabur, lebih tidak menentu dan lebih mengandung kompetisi meraih akses pada ilmu, modal dan pasar di negara-negara kaya.
Kedua, soal yang berkaitan dengan keamanan regional. Tiadanya negara adidaya yang memasok kekuatan militer telah menimbulkan persaingan baru diantara negara anggota kawasan tertentu. Ketiga, perhatian kepada ekonomi politik internasional menjadi penting sesudah Sistem Bretton Wood runtuh tahun 1971-1972 yang semula jaminan emas menjadi pilar ekonomi dunia sejak akhir Perang Dunia II.Pada saat bersamaan Jerman dan Jepang menjadi kekuatan baru dalam bidang ekonomi yang menandingi AS. Keempat, dalam hubungan internasional muncul pokok masalah baru yakni “3-in1” berupa lingkungan hidup, hak asasi manusia dan demokratisasi. Ditambah pula dampak globalisasi ekonomi.
Memasuki milenium ke-3 ini dunia menyaksikan corak hubungan antar bangsa yang juga baru. Pada bab ini akan ditelusuri corak hubungan internasional bagaimana yang akan muncul pada awal abad ke-21 nanti. Untuk mengetahuinya tidak hanya mengandalkan pandangan pakar hubungan internasional tetapi juga perlu melihat kajian sejumlah pakar bisnis yang akibat globalisasi ekonomi penilaiannya menjadi sangat berharga.
Revolusi Dunia
Sebelum melihat bagaimana corak hubungan internasional abad ke-21, ada baiknya melihat terlebih dahulu sedikitnya tiga revolusi yang berlangsung pada penghujung abad ke-20. Pertama, revolusi geostrategis. Dalam sebuah laporan berjudul Strategic Assessment 1997 yang diterbitkan Institute for National Strategic Studies (INSS) Amerika Serikat menyebutkan di dunia ini telah terjadi perubahan-perubahan strategis. Di antaranya, pola Perang Dingin sedang digantikan oleh hubungan multiporal asimetris di mana AS sebagai negara paling kuat yang mengendalikan jaringan internasional. Meskipun demikian kekuatan negara lain penting karena berpengaruh di masing-masing kawasan.
Salah satu perkembangan menarik dari perubahan geostrategis global seperti diuraikan dalam laporan tersebut adalah kemenangan gagasan demokrasi dan ekonomi pasar (democracy market). AS melihat bahwa gagasan itu diterima di mana pun di dunia, kecuali di Cina, sebagai cara terbaik dalam memimpin masyarakat.
Oleh sebab itulah maka INSS membagi tiba kategori negara. Pertama, negara sukses melaksanakan tujuan demokrasi pasar. Kedua, negara yang sedang dalam transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi pasar namun berisiko membeku dengan ekonomi politik dan sebagian sistem politik bebas. Ketiga, negara-negara bermasalah yang tertinggal dari negara lainnya dan bahkan banyak berjuang untuk keluar dari ekstremisne etnik dan religius dan mungkin krisis separatisme.
Charles Kegley menyebutkan, anara 1974 sampai 1991, sepertiga negara yang ada di muka bumi mengubah sistem politiknya menjadi demokrasi. Sebuah organisasi yang memonitor kemajuan ke arah demokrasi, Freedom House, memperkirakan pada tahun 1992, sebanyak 41 persen manusi yang hidup di dunia tinggal di negara-negara bebas, 37 persen hidup di negara setengah bebas dan 22 persen berada di negara yang tidak bebas.
Hungtington menyebutkan bahwa fenomena meluasnya ajaran demokrasi itu sebagai sebuah gelombang ketiga demokratisasi. Oleh karena itu, Francis Fukuyama menyatakan ajaran demokrasi liberal Barat telah menjadi universal dan bentuk terakhir pemerintahan yang bisa diterima manusia.
Patut dicatat pula fenomena baru dari kemitraan strategis antara AS dan Cina serta Cina dan Rusia. Kemitraan ini secara langsung telah mengeluarkan Cina dari isolasionisme dunia menjadi lebih terbuka terhadap respons dunia. Bahkan muncul pendapat, dengan kemitraan itu Cina takkan lagi berubah menjadi ekstrem karena tidak merasa frustrasi dengan apa yang dinamakan oleh AS sebagai politik pembendungan Cina.
Kedua, Revolusi teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi memang sudah dirasakan sebagian besar lapisan masyarakat di planet bumi ini. Komputer, faksimile, kabel optik fiber, telepon genggam, siaran televisi yang global serta satelit telah mempercepat aliran informasi menembus batas-batas negara tanpa bisa dihentikan. Oleh karena itulah revolusi ini mempercepat penyebaran gagasan-gagasan politik yang semakin membuka mata masyarakat. Sejauh ini sulit diramalkan akan ke mana arah revolusi bidang teknologi ini.
Ketiga, revolusi dalam pemerintahan. Berbeda dengan lima dekade lalu, wilayah kontrol negara kini sedang menyusut. Di banyak negara maju, kekuasaan dialihkan ke pemerintahan regional atau lokal. Bahkan ada pula yang diserahkan ke sektor swasta, terutama dalam penguasaan sumber daya alam, dana dan manusia. Fenomena ini telah memperkuat kecenderungan menuju masyarakat pluralis.
Berkurangnya kekuasaan pemerintah ini terlihat seperti di Rusia, AS, Uni Eropa dan mungkin Cina. Pemerintah pusat cenderung memindahkan lebih banyak otoritasnya ke pemerintah lokal atau regional. Berkurangnya fungsi pemerintahan pusat ini antara lain karena berkurangnya anggaran dan mungkin pula karena krisis anggaran di banyak negara. Tidak mengherankan jika banyak terjadi swastanisasi perusahaan negara seperti di Rusia dan Cina. Alasannya, meningkatkan efektifitas dan efisensi sehingga bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Kekuatan bisnis internasional juga telah meningkatkan kekuatannya dalam berhadapan dengan pemerintahan. Namun demikian tentu saja dalam saat-saat tertentu seperti selama perang, kemampuan pemerintah memobilisasi berbagai sumber untuk mendukung kepentingan nasionalnya masih bisa diandalkan.

Menurut sebuah analisis telah terjadi tiga perubahan cepat dalam dekade ini dan hal ini sepertinya banyak menguntungkan negara adidaya seperti AS. Dalam skema hubungan antarkekuatan besar terlihat AS masih berada di poros, tidak seperti pada Perang Dingin dengan dua poros. Salah satu kecenderungan yang muncul adalah, AS akan senantiasa mempertahankan kekuatannya dengan jalan apa pun meski tentu mengorbankan sekutunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar